Tentang Rezeki yang Kita Nikmati

0 Comments

“Sesungguhnya seseorang dihalangi dari rezekinya”, demikian Rasulullah bersabda sebagaimana dicatat oleh Imam Ahmad, “Disebabkan dosa yang dilakukannya.”

Aku tahu, rezekiku takkan diambil orang, karenanya hatiku tenang.

Aku tahu, ‘amalku takkan dikerjakan orang, karenanya kusibuk berjuang.

-Hasan Al Bashri-

Pemberian uang yang sama-sama sepuluh juta, bisa jadi sangat berbeda rasa penerimaannya. Kadang ia ditentukan oleh bagaimana cara menghulurkannya.

Jika terada dalam amplop coklat yang rapi lagi wangi, dihulurkan dengan senyum yang harum dan sikap yang santun, betapa berbunga-bunga kita menyambutnya. Apatah lagi ditambah ucapan yang sopan dan lembut, “Maafkan sangat, hanya ini yang dapat kami sampaikan. Mohon diterima, dan semoga penuh manfaat di jalan kebaikan.”

Ah, pada yang begini, jangankan menerima, tak mengambilnya pun tetap nikmat rasanya. Semisal kita katakan, “Maafkan Tuan, moga berkenan memberikannya pada saudara saya yang lebih memerlukan.” Lalu kita tahu, ia sering berjawab, “Wah, jika demikian, kami akan siapkan yang lebih baik dan lebih berlimpah untuk Anda. Tapi mohon tunggu sejenak.”

Betapa berbeda rasa itu, dengan jumlah sepuluh juta yang berbentuk uang logam ratusan rupiah semuanya. Pula, ia dibungkus dengan karung sampah yang busuk baunya. Diberikan dengan cara dilempar ke muka, diiringi caci maki yang tak henti-henti. Betapa sakitnya. Betapa sedihnya. Sepuluh juta itu telah hilang rasa nikmatnya, sejak mula ia diterima.

Inilah di antara hakikat rezeki, bahwa ia bukan soal berapa. Sungguh ia adalah nikmat yang kita rasa. Sebab sesungguhnya, ia telah tertulis di langit, dan diterakan kembali oleh malaikat ketika ruh kita ditiupkan ke dalam janin di kandungan Ibunda. Telah tertulis, dan hendak diambil dari jalan manapun, hanya itulah yang menjadi jatah kita. Tetapi berbeda dalam soal rasa, karena berbeda cara menghulurkannya. Dan tak samanya cara memberikan, sering ditentukan bagaimana adab kita dalam menjemput dan menengadahkan tangan padaNya.

Rezeki memiliki tempat dan waktu bagi turunnya. Ia tak pernah terlambat, hanyasanya hadir di saat yang tepat.

“Janganlah kalian merasa bahwa rezeki kalian datangnya terlambat”, demikian sabda Rasulullah yang dibawakan oleh Imam ‘Abdur Razzaq, Ibnu Hibban, dan Al Hakim, “Karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba meninggal, hingga telah datang kepadanya rezeki terakhir yang ditetapkan untuknya. Maka tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, yaitu dengan  yang halal dan meninggalkan yang haram.”

Jika jodoh adalah bagian dari rezeki, boleh jadi berlaku pula kaidah yang sama. Sosok itu telah tertulis namanya. Tiada tertukar, dan tiada salah tanggal. Tetapi rasa kebersamaan, akan ditentukan oleh bagaimana adab dalam mengambilnya. Bagi mereka yang menjaga kesucian, terkaruniakanlah lapis-lapis keberkahan. Bagi mereka yang mencemarinya dengan hal-hal mendekati zina, ada kenikmatan yang kan hilang meski pintu taubat masih dibuka lapang-lapang. Sebab amat berbeda, yang dihulurkan penuh keridhaan, dibanding yang dilemparkan penuh kemurkaan.

Baca Juga: Wanita Hebat yang Dirindu Surga

Rezeki adalah ketetapan. Cara menjemputnya adalah ujian. Ujian yang menentukan rasa kehidupan. Di lapis-lapis keberkahan dalam setetes rezeki, ada perbincangan soal rasa. Sebab ialah yang paling terindra dalam hayat kita di dunia.

***

Di antara makna rezeki adalah segala yang keluar masuk bagi diri dengan anugrah manfaat sejati. Nikmat adalah rasa yang terindra dari sifat maslahatnya. Kasur yang empuk dapat dibeli, tapi tidur yang nyenyak adalah rezeki. Ia dapat saja terkarunia di alas koran yang lusuh, dan bukan di ranjang kencana yang teduh. Hidangan yang mahal dapat dipesan, tetapi lezatnya makan adalah rezeki. Ia dapat saja terkarunia di wadah daun pisang bersahaja, bukan di piring emas dan gelas berhias permata. Atau bahkan, ada yang memandang seseorang tampak kaya raya, tapi sebenarnya Allah telah mulai membatasi rezekinya.

Ada yang bergaji 100 juta rupiah setiap bulannya, tapi tentu rezekinya tak sebanyak itu. Sebab ketika hendak meminum yang segar manis dan mengudap yang kue yang legit, segera dikatakan padanya, “Awas Pak, kadar gulanya!” Ketika hendak menikmati hidangan gurih dengan santan mlekoh dan dedagingan yang lembut, cepat-cepat diingatkan akannya, “Awas Pak, kolesterolnya!” Hatta ketika sup terasa hambar dan garam terlihat begitu menggoda, bergegaslah ada yang menegurnya, “Awas Pak, tekanan darahnya!”

Rasa nikmat itu telah dikurangi.

Lagi-lagi, ini soal rasa. Dan uang yang dia himpunkan dari kerja kerasnya, amat banyak angka nol di belakang bilangan utama, disimpan rapi di Bank yang sangat menjaga rahasia, jika dia mati esok pagi, jadi rezeki siapakah kiranya? Apa yang kita dapat dari kerja tangan kita sendiri dan kita genggam erat hari ini, amat mungkin bukan hak kita. Seperti hartawan yang mati meninggalkan simpanan bertimbun. Mungkin itu mengalir ke ahli warisnya, atau bahkan musuhnya. Allah tak kekurangan cara untuk mengantar apa yang telah ditetapkanNya pada siapa yang dikehendakiNya.

Rezeki sama sekali bukan yang tertulis sebagai angka gaji.

Seorang pemilik jejaring rumah makan dari sebuah kota besar Pulau Jawa, demikian cerita shahibul hikayat yang kami percaya, dengan penghasilan yang besarnya mencengangkan, punya kebiasaan yang sungguh lebih membuat terkesima. Sepanjang hidupnya, tak pernah dia bisa berbaring di kasur, apalagi ranjang berpegas. Dia hanya bisa beristirahat jika menggelar tikar di atas lantai dingin, tepat di depan pintu.

Rezeki sama sekali bukan soal apa yang sanggup dibeli.

Ada lagi kisah tentang seorang pemilik saham terbesar sebuah maskapai penerbangan yang terhitung raksasa di dunia. Armada pesawat yang dijalankan perusahaannya lebih dari 100 jumlahnya. Tetapi dia menderita hyperphobia, yakni rasa takut terhadap ketinggian. Seumur hidupnya, yang bersangkutan tak pernah berani naik pesawat.

Jadi rezeki yang kita nikmati itu murni dari Allah yang Maha Memberi. Rezeki kita adalah hal yang telah digariskan oleh Allah, sehingga kita hanya ada di ranah berusaha, berdoa dan bertawakkal kepada Allah sehingga rezeki kita benar-benar rezeki yang barakah.

 

Faiz Jawami’ Amzad

One Reply to “Tentang Rezeki yang Kita Nikmati

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts